Bangsa Indonesia harus mampu memanfaatkan bonus demografi, dengan
mengembangkan berbagai program antara lain keluarga sadar gizi dan peningkatan
sumber daya manusia tentu saja dengan
berbagai prosesnya.
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus merupakan
investasi sumber daya manusia, serta memiliki kontribusi yang besar untuk
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu
keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatan demi kesejahteraan masyarakat.
Keadaan gizi yang baik merupakan prasyarat utama dalam
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Masalah gizi terjadi di setiap
siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan
usia lanjut. Masalah gizi masyarakat masih memerlukan perhatian, hal ini
diketahui dari masih tingginya status gizi kurang pada balita (28%), kurang Vitamin
A 50% (kadar vit A dalam serum kurang dari 20mcg/dl), anemia gizi Besi berkisar
50% dari berbagai kelompok umur, dan gangguan akibat kekurangan yodium
berdasarkan Total Goitre Rate (TGR) 9,8%. Penyebab utama lamanya penurunan
prevalensi, karena rendahnya kasadaran masyarakat terhadap upaya perbaikan
gizi.2
Menteri Kesehatan telah menerbitkan strategi 17 sasaran dalam
memperbaiki kesehatan masyarakat melalui Desa Siaga, sasaran ke 3 perbaikan
gizi masyarakat melalui Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang diupayakan atas
dasar pemberdayaan masyarakat, untuk mengetahui tingkat keberhasilannya dilihat
dari minimal 5 indikator yang dapat dengan mudah dilaksanakan keluarga, yaitu :
1) Menimbang
berat badan secara teratur,
2) Memberikan
ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eklusif),
3) Makan
beraneka ragam,
4) Menggunakan
garam beryodium dan
5) Minum
suplemen gizi (tablet tambah darah, kapsul vitamin A dosis tinggi) sesuai
anjuran.
Untuk
mewujudkan perilaku KADARZI sejumlah aspek perlu dicermati. Aspek ini berada di semua
tingkatan yang mencakup :
1.
Tingkat keluarga,
2.
Tingkat masyarakat,
3.
Tingkat pelayanan kesehatan, dan
4. Tingkat pemerintah.
Ditingkat
keluarga, aspek tersebut adalah :
a.
Pengetahuan dan keterampilan keluarga dan
b.
Kepercayaan, nilai dan norma yang berlaku.
Ditingkat
masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor pendukung perubahan perilaku keluarga,
adalah :
a.
Norma yang berkembang di masyarakat dan
b.
Dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) yang
mencakup eksekutif,
legislatif, tokoh agama/masyarakat, lsm, ormas, media massa, sektor swasta dan donor.
Ditingkat
pelayanan kesehatan sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan Bab V, Pasal 10 yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal di masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan
dengan cara :
a. Pendekatan pemeliharaan,
b. Peningkatan kesehatan
(promotif),
c. Pencegahan (preventif),
d. Penyembuhan penyakit
(kuratif) dan
e. Pemulihan kesehatan
(rehabilitatif), yang akan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan.
Perbaikan
Gizi merupakan salah satu cara mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan.
Ditingkat
pemerintahan mencakup adanya kebijakan pemerintah yang mendukung dan pelaksanaan kebijakan
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika
semua aspek ini dapat dilaksanakan dengan maksimal, maka tidak menutup
kemungkinan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia akan bertambah baik
sehingga nilai produktivitas meningkat, yang kemudian secara linier akan
berdampak pada kemajuan ekonomi bangsa. sehingga pemanfaatan bonus demografi
dapat berjalan lancar dan peluang emas menuju Indonesia Mandiri Insya Allah dapat terwujud.
Menurut Nuryana (1995)3, menyonsong tahun 2020 sama halnya kita
menyonsong lebaran. Setelah satu bulan lamanya kita berjuang melawan nafsu
untuk melatih pengendalian diri barulah kita rasakan betul arti sebuah
kemenangan berpuasa. selama menjalankan ibadah puasa semestinya secara jujur
yang kita tuju sebenarnya dalah bukan hari lebarannya , tetapi adalah
pencapaian kualitas iman dan taqwa kita lebih baik dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Apakah yang terakhir itu yang dijadikan target ? Bila tidak,
berarti kemunduran! Begitu pula dengan target 2020 yang ditetapkan menjadi
garis finis kesiapan kita bertarung di pasar bebas. Yang kita tuju bukan nilai
kesiapan kita pada dead line, tetapi
seberapa besar kemampuan kita meningkatkan dan memanfaatkan peluang yang ada.
Waktu yang tersedia amat sempit mengingat keadaan dan sumber
daya yang membutuhkan perbaikan secara besar-besaran. Sumber daya alam yang
kita miliki mungkin masih dapat diandalkan selama kita rajin memeliharanya dan
“sopan” mengeksploitasinya.
Infrastruktur juga sudah mulai kelihatan bentuk wajahnya yang
marketabel terhadap investor asing.
Sumber dana kita masih “cukup berlimpah”
asal efisiensi pemakainnya dan sedikit dibantu oleh kepercayaan beberapa negara
yang masih berniat memberikan pinjaman (walaupun kita masih punya setumpuk
utang yang sewaktu-waktu bila perlu kita ajukan reschedulling).
Sumber daya manusia yang dimiliki bangsa Indonesia sangat
besar secara kuantitas, seperti yang di lansir dari artikel Hidayatullah.com –
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data Susenas 2014 dan
2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai
254,9 juta jiwa.4 Berkaitan dengan jumlah penduduk tersebut, sebuah
koran Asing meramalkan bahwa jumlah penduduk Indonesia bakal menjadi negara super power keempat setelah Amerika
Serikat. Ramalan tersebut berasumsikan besarnya jumlah penduduk merupakan
variabel penentu kekuatan (the prominent
power). Boleh jadi ramalan itu benar kalau asumsi sumber daya manusia kita
pada awal abad 21 nanti sudah superior.
Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang cukup besar
tersebut, diperlukan strategi jitu dan tepat sehingga meningkatkan kemandirian.
Mandiri memiliki makna dalam keadaan dapat berdiri sendiri,
tidak bergantung pada orang lain,5 yang di analogikan keadaan
tersebut secara umum terdapat pada individu sehat secara jasmani maupun rohani karna jika individu tersebut sudah jatuh sakit,
pasti akan ada dua, tiga atau lebih banyak orang yang akan dimintai bantuan
sebagai tempat bergantung sehingga makna dari kata mandiri akan pudar. Ketika
individu-individu sehat ini sudah semakin bertambah banyak maka akan muncul kelompok-kelompok masyarakat yang akan
membentuk sebuah bangsa dan memiliki semangat untuk terbebas dari
ketergantungan atau mampu untuk menjadi masyarakat dan bangsa yang mandiri.
Memperhatikan seluruh uraian diatas dengan rasa optimis, dengan pemanfaatan bonus demografi melalui program keluarga sadar gizi dan
peningkatan sumber daya manusia Insya
Allah akan mampu menuju Indonesia mandiri.
Demikian tulisan ini semoga bermanfaat adanya.