Diberdayakan oleh Blogger.
Terima kasih sudah
berkenan mampir
ke "rumah" sederhana ini,
Semoga dapat
memberikan manfaat..:)



RSS

[Pulang Ke Rumah]



aku memilih pulang ke rumah
setelah diri terlalu lelah dan lemah
berjalan tanpa tahu arah

aku memilih pulang ke rumah
bukan dikarenakan telah kalah dan menyerah
tapi, ada resah tak mengenal sudah

aku memilih pulang ke rumah
menuju bilik tempat berserah
bersimpuh mengalirkan bening basah

Rabu, 22 April 2020




Hallo hallo….akhirnya, setelah mendapatkan “tamparan” cukup keras, saya memilih kembali pulang ke rumah ini. “Rumah ?” ah oke, blog saya ini maksudya. Blog ini sudah saya anggap seperti rumah sejak lama sebenarnya, terlihat dari template bernuansa rumah dengan halamannya, juga tajuk blog “Home Sweet Home” yang berarti “Rumahku Surgaku”. Saat itu, besar harapan agar blog ini bisa menjadi salah satu tempat, untuk saya menuliskan beragam hal yang dibutuhkan oleh banyak orang yang kemudian dapat dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.

Namun, yaa… saya terlalu malas. Malas untuk sesekali mengunjungi rumah saya ini. Pikiran yang pertama kali muncul adalah, bayangan harus menulis banyak dan sedikit tidak harus ‘berbobot’. Padahal, itu pun kalau ada yang berkunjung membaca, hahaha. Aaah dasar saya…


Semenjak mendapat “tamparan” itu, akhirnya saya sadar, saya telah melakukan kesalahan, pada diri juga rumah saya ini. Seharusnya tugas saya hanyalah menulis sebebas mungkin, tanpa perlu merasa terikat dengan adanya pembaca atau tidak, tulisan ini sudah baik atau belum, memiliki manfaat, dan apapun itu. Sejak saat itu, saya mencoba memerdekakan kembali tulisan-tulisan saya, lebih-lebih pribadi saya sendiri.

Dan di sinilah saya sekarang, (kembali) pulang ke rumah.

-------------------------------------
Teman-teman, bagaimana kabar kalian semua? baik itu secara lahir maupun batin, semoga apapun jawabannya, kalian (juga saya tentunya) masih bisa menyempatkan diri untuk tersenyum. Saya tahu, kita sedang tidak begitu baik-baik saja akhir-akhir ini. Tapi, jangan sampai itu menjadi alasan kita untuk tidak memberikan hak bibir menyungginggang senyum terbaiknya.

Rumah, mejadi kata kunci yang begitu sering kita dengar akhir-akhir ini. Dari segala penjuru dunia, telah sepakat bahwa rumah menjadi salah satu tempat paling aman untuk kita diami di masa pandemi Virus Covid-19 sekarang. Ada yang karena sudah terlalu lama di rumah saja, menjadikannya bosan dan mati gaya. Dan ada pula, justru dengan tugas yang sedang diembannya, mengingat kembali kapan terakhir “pulang ke rumah”. Maka, seberapa pentingkah makna rumah itu sendiri ?

Sebelumnya, sedikit saya ingin bercerita. Pada suatu hari, saya sempat diberi kesempatan membimbing secara privat adek didik yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Dalam sesi belajar tersebut, Si Adek segera membuka buku pelajarannya dan membaca dengan suara lantang isi dari cerita tersebut. Mendekati akhir cerita, saya baru menyadari bahwa cerita yang dibacakannya sangat bagus. Saya dibuat terdiam cukup lama merenungi tiap kalimat yang keluar dari bibir kecilnya. Karena tidak ingin membiarkan cerita ini sekadar lewat begitu saja, saya putuskan mengabadikannya dalam bidikan kamera gawai. Berikut kutipan dua paragraf terakhir dari isi cerita tersebut :

“Rumah Dian tampak sederhana dan bersih. Rumah merupakan tempat untuk makan, minum, masak, mandi, mengobrol, hingga melepas penat dan lelah. Rumah merupakan tempat mendapat ketentraman, kedamaian, kebahagiaan, keamanan dan kenyamanan bagi para penghuninya.

Karena itu, banyak pemilik rumah sederhana atau bahkan gubuk bambu sekalipun merasa bahagia. Sebab, meskipun gubuk namun suasana di dalamnya penuh dengan keceriaan, keterbukaan, kejujuran, dan tanggung jawab bersama. Dian harus tetap bersyukur apapun keadaan rumahnya. Karena masih banyak keluarga di luar sana yang tidak memiliki rumah.”

Kutipan di atas, terus saja terngiang dalam ingatan saya. Apik sekali definisi rumah yang ditulis dalam buku pelajaran itu. Buku pelajaran sekolah dasar. Darinya saya belajar definisi rumah dengan penjabaran yang mudah dipahami. Rumah, tidak perlu lagi dilihat dari luas maupun sempitnya. Namun, lebih penting dari itu adalah, bagaimana membangun ketentraman, kedamaian, kebahagiaan, keamanan dan kenyamanan bagi para penghuninya, baik itu dengan menciptakan suanana penuh keceriaan, keterbukaan, kejujuran dan tanggung jawab secara bersama-sama. Dan untuk mewujudkannya, itu semua kembali lagi pada tanggung jawab masing-masing orang. Dan orang itu, tak lain adalah diri kita sendiri, pemegang kunci dari keharmonisan dalam rumah.

Sampai saat ini, sudahkah kita menjalani peran sebagai penghuni rumah dengan penuh tanggung jawab ?

-------------------------------------
InsyaAllah, dalam beberapa jam ke depan, kita akan menyambut kehadiran bulan suci Ramadhan. Kali ini, mungkin  untuk kali pertama kita akan merasakan dan menyaksikan suasana Ramadhan yang cukup berbeda. Tempat ibadah seperti masjid, mushala dan tempat-tempat kajian akan tampak sepi sudah sejak hari pertama. Sepi dari kerumunan masyarakat yang berbondong-bondong melaksanakan ibadah secara berjamaah kemudian dilanjut dengan tadarus al-Qur’an secara bergilir. Selaian itu, akan tidak terlihat lagi gerombolan orang-orang yang memadatai beragam rumah makan/lesehan untuk sama-sama merayakan buka bersama ditemani gelak tawa. Tidak ada, kalaupun ada, mungkin sudah tidak seramai Ramadhan tahun lalu.

Semua aktivitas itu, telah berpindah hanya kepada satu tempat, rumah kita, rumah yang kita tempati saat ini. Maka, merangkaplah rumah kita menjadi “rumah ibadah” dan rumah makan. Rumah yang akan menjadi bagian penting sebagai salah satu saksi penghambaan kita selama ramadhan esok. Rumah yang akan menjadi tempat menuju jalan “Pulang ke Rumah” sesungguhnya kelak. Semoga dengan situasi seperti ini, tak menyurutkan semangat kita untuk memaksimalkan ibadah walau hanya #DiRumahAja.

Sebagai penutup, mengutip nasehat bijak Buya Hamka dari buku “Buya Hamka Berkisah Tentang Nabi Muhammad SAW” karya Mohammad Saribi, beliau berkata “Dibalik kesulitan itu, pasti ada hikmahnya. Harus ingat pada berkatnya, pada hikmahnya. Cuma sering kita tidak mengakui.” (Hlm. 127)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar